Salam damai dalam kasih Tuhan. Nama saya Stephanus Benedictus Bera Liwun tetapi saya lebih akrab dipanggil Benedictus atau Ben. Saya lahir di kota yang dikenal dengan nama Kota Hujan atau Bogor. Saya lahir pada tanggal 3 Agustus 1989. Saya dibaptis pada tanggal 1 Oktober 1989 di Kapel Bruderan, Paroki Katedral Bogor (Beatae Marie Virgins). Pada waktu saya menerima sakramen yang pertama itu saya baru berusia 1 bulan 29 hari. Imam yang menerikan sakramen Baptis kepada saya adalah Romo J. Hadjono, Pr. Beliau dahulu adalah Pastor Kepala Paroki pada waktu itu. Sekarang Pastor tersebut dimutasi ke Paroki Cinere.
Pada saat saya menginjak usia 3 tahun, saya mulai diajarkan doa-doa harian oleh kedua orang tua saya. Doa harian yang mereka ajarkan antara lain adalah doa Bapa Kami, Salam Maria, Kemulian, dan Terpujilah. Doa-doa itu selalu mereka ajarkan setiap sebelum tidur malam. Mereka mengajarkan saya dengan penuh kesabaran karena anak seusia saya pada saat itu masih ingin sekali bermain-main. Setiap hari Sabtu mereka selalu mengajak saya pergi ke gereja. Jika anak-anak seusia saya masih main-main dan membawa bekal makan serta minuman, itu tidak berlaku untuk saya karena kedua orang tua saya tidak pernah memperbolehkan saya untuk makan maupun minum di dalam gereja. Mereka selalu mengatakan bahwa, “gereja bukan tempat untuk makan dan minum, tetapi gereja adalah tempat untuk bertemu dengan Tuhan”.
Ketika saya menginjak usia 6 tahun saya mulai masuk di Sekolah Dasar. Sekolah Dasar dimana saya menuntut ilmu adalah Sekolah Dasar Negeri. Selama 6 tahun lamanya saya menuntut ilmu di sekolah itu dan selama itu juga saya merasa tersisihkan karena teman-teman saya di sekolah beragama Islam , tetapi teman-teman saya yang beragama Islam tersebut sangat menghargai perbedaan iman diantara saya dengan mereka. Ketika mereka ada pelajaran agama Islam saya meminta kepada guru agama untuk tidak keluar dari kelas karena memang seharusnya bila sedang ada pelajaran agama bagi siswa yang bukan beragama Islam harus meninggalkan kelas agar tidak mengganggu. Pada saat itu saya meminta kepada guru agama Islam untuk keluar dari kelas dan ikut mendengarkan materi demi materi pada pelajaran agama tersebut. Saya selalu ikut dalam kelas agama Islam oleh karena itu saya hampir hafal diluar kepala mengenai doa-doa harian pada agama Islam dibandingkan dengan doa-doa yang ada pada ajaran agama yang saya anut yaitu agama Katolik.
Saat dirumah saya kembali dengan agana yang saya anut yaitu agama Katolik. Saya sempat merasakan keraguan dalam diri saya sendiri apakah saya benar-benar menganut agama Katolik atau hanya di rumah saja saya beragama Katolik tetapi diluar rumah saya beragama yang lain. Ini saya rasakan selama saya belum menerima sakramen Ekaristi. Saya benar-benar binggung apakah saya adalah orang yang memiliki dua agama sekaligus (dwiagama) atau tidak. Saya pernah berbicara kepada orang tua saya untuk pindah agama tetapi karena pada waktu itu saya masih kecil, baru saja meginjak kelas 2 SD maka kedua orang tua saya tidak mengindahkannya. Saat itu saya sudah sempat ikut ajaran agama lain dan belajar mengenai doa-doa harian dari agama tersebut. Saya seperti tidak sadar akan apa yang sedang saya lakukan padahal saya sangat sadar akan apa yang saya lakukan. Saya juga pernah diajari untuk membaca kitab suci dari agama lain yang menggunakan bahasa asing. Ketika bercerita demikian, reaksi dari kedua orang tua saya langsung mencoba mengatasi masalah tersebut. Mereka mencoba mengatasi masalah tersebut dengan lebih sering mengajak saya untuk pergi ke gereja dan pertemuan di lingkungan untuk memperingati masa-masa tertentu.
Pada waktu saya menginjak kelas 4 SD, saya menerima sakramen Ekaristi. Sakramen Ekaristi yang saya terima bertepatan pada malam Natal yaitu tanggal 24 Desember 1998. Sakramen ini adalah sakramen ketiga yang saya terima karena sebelumnya saya sudah menerima sakramen Baptis dan Tobat. Sakramen Tobat saya terima sebelum saya menerima sakramen Ekaristi. Saat kembali ke Sekolah saya merasa bahwa saya tidak merasa ragu lagi akan agama yang saya anut ini karena sebelumnya saya merasa ”bimbang” karena pengaruh akan pergaulan di Sekolah yang mayoritas beragama Islam.
Tahun 2001 saya lulus dari Sekolah Dasar. Saya diberikan 2 pilihan oleh kedua orang tua saya, yaitu melanjutkan sekolah di Sekolah Katolik atau Sekolah Negeri. Mereka memberikan pilihan kalau saya melanjutkan sekolah di Sekolah Katolik saya tidak perlu repot-repot mencari nilai untuk mata pelajaran agama Katolik, tetapi bila saya melanjutkan sekolah ke Sekolah Negeri maka saya harus mencari nilai untuk mata pelajaran agama Katolik pada sekolah Katolik yang sudah ditentukan oleh sekolah tersebut. Akhirnya saya memilih untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Katolik karena pertimbangan itu. Selama 3 tahun saya menuntut ilmu di Sekolah itu. Tahun pertama pada saat saya melanjutkan sekolah tingkat pertama (SMP), Paroki dimana saya menuntut ilmu membuka pendaftaran bagi siswa dari sekolah saya untuk menerima sakramen yang keempat yaitu sakramen Krisma (sakramen Penguatan). Selama kurang lebih 1 bulan yang dilaksanakan pada hari Minggu, saya mendapatkan banyak pengalaman dan teman baru. Pengalaman yang saya dapatkan pada saat menjalani kursus sebagai calon Krisma adalah pendalaman iman katolik, arti dan maksud diberikannya sakramen Krisma dan lain-lain. Dalam kursus tersebut juga diberitahukan bahwa sakramen Krisma hanya dapat diterima sebanyak satu kali saja dalam seumur hidup.
Pada tanggal 15 Oktober 2001 saya menerima sakramen Krisma (Sakramen Penguatan) di Paroki Katedral Bogor ( Beatae Marie Virginis). Sakramen Krisma (Sakramen Penguatan) diterimakan oleh Mgr. Michael Cosmas Angkur (Uskup Bogor) yang didampingi oleh RD. Ignatius Heru Wihardono, Pr (Pastor Paroki pada waktu itu) dan RD. Robertus Untung Hatmoko, Pr (Pembantu Pastor Paroki). Misa pada waktu itu amat semarak karena semua orang dalam gereja merasa kegembiran terlebih para calon Krisma.
Setelah saya menerima sakramen Krisma, saya merasa bahwa benar-benar telah menjadi dewasa baik dari segi iman, perilaku, tuturkata, dan lain-lain. Selama saya sekolah di sekolah tingkat pertama (SMP) saya merasa amat senang sekali karena saya merasa ”tidak sendiri” mengimani Kristus. Saya menjadi semakin percaya diri bahwa saya tidak boleh menjadi seperti yang dulu yaitu merasa rendah diri karena mengimani Kristus. Setelah saya menerima sakramen Krisma saya menjadi semakin percaya bahwa Kristus adalah Sumber Kehidupan bagi umat manusia.
Sewaktu saya masih di Sekolah Tingkat Pertama (SMP), saya mulai aktif di gereja. Saya aktif sebagai anggota Putera Altar (Misdinar) di Stasi tempat saya tinggal. Pada kegiatan ini saya merasa sangat nyaman sekali karena saya bisa mendapatkan teman yang banyak sekali dari yang usianya dibawah sampai dengan yang diatas saya. Setiap minggu setelah Misa saya dengan teman-teman Misdinar maupun Lektris selalu berkumpul untuk saling share mengenai pengalaman selama menjadi Misdinar maupun Lekris. Saya sangat senang dengan cara mereka berbagi pengalaman terhadap adik-adik mereka yang bari saja menjadi Lekris maupun Misdinar. Share pengalaman biasa bertempat di Ruang Serbaguna gereja.
Pada waktu saya kelas 3 SMP, saya mengikuti pembekalan untuk para petugas altar yaitu Putera Altar (Misdinar) dan Lektris. Pada pembelakan itu saya dari tidak tahu menjadi tahu bahwa tugas seorang Misdinar bukan hanya sekedar membantu Pastor di altar tetapi juga mewarta Injil ke seluruh lapisan masyarakat begitu juga dengan Lektris tidak hanya membaca bacaan dari Kitab Suci sebagaimana telah tertulis pada kertas bacaan tetapi juga mewartakannya ke seluruh lapisan masyarakat. Pada pembekalan itu juga saya dapat mengetahui nama-nama dari peralatan yang biasa digunakan untuk Misa (Perayaan Ekaristi) . Alat-alat itu antara lain adalah ampul, sibori, monstran, piala,wirug dan lain-lain. Pembekalan itu juga membuat saya menjadi kenal dengan para Misdinar dan Lektris dari gereja Katedral Bogor serta Wilayah lain yang termasuk dalam Paroki Katedral Bogor.
Setiap Misa besar seperti Malam Natal, Hari Natal, Minggu Palma, Tri Hari Suci, dan Hari Raya Paska kami selalu melakukan latihan Misdinar maupun Lektris untuk mendukung Misa Hari besar tersebut. Latihan biasanya dilakukan 1 sampai dengan 2 bulan sebelum Misa Hari besar tersebut dilaksanakan. Latihan yang saya jalani bersama dengan teman-teman, kami lakukan hanya untuk Tuhan dan untuk umat yang mengikuti Misa hari besar tersebut di gereja Stasi saya. Setiap Misa besar seperti itu saya masuh harus tetap saja ikut latihan walaupun saya sudah lebih dari 3 tahun menjalankan tugas sebagai Misdinar itu. Seiring dengan berjalannya waktu Tata Perayaan Ekaristi pun berubah, sehingga ada beberapa prosesi pada Misa besar yang harus diubah dan ditambah.
Pada usia saya yang ke 15 tahun, saya diangkat sebagai bendahara dalam organisasi Misdinar. Saya menjabat sebagai bendahara selama 2 tahun. Selama saya menjabat menjadi bendahara banyak sekali acara yang diadakan oleh organisasi Misdinar seperti melakukan retret yang bekerja sama dengan Mudika setempat dan lain-lain. Setelah saya melepaskan jabatan saya sebagai bendahara dari Misdinar, saya tetap menjadi anggota Misdinar tetapi saya hanya mendapatkan tugas pada Misa-Misa besar saja karena untuk Misa pada minggu-minggu biasa tugas sebagai Misdinar dulakukan oleh Misdinar angkatan dibawah saya.
Selama saya kembali manjadi Misdinar saja dan saya tidak aktif dalam organisasi lagi, saya mendaftarkan diri sebagai anggota dari Mudika di Stasi tempat saya tinggal. Setelah saya mendaftarkan diri sebagai anggota, saya dipanggil untuk di wawancarai mengenai pengetahuan tentang Mudika di Stasi saya. Setelah itu saya mulai menjadi anggota Mudika dan kembali aktif gereja. Ini berlangsung sampai saya lulus SMP. Stelah saya lulus SMP saya memilih hanya menjadi anggota gereja saja tanpa aktif kembali di organisasi karena saya beranggapan bahwa sekarang saya sudah di SMA, saya takut kalau saya tidak bisa membagi waktu untuk belajar.
Pada tahun 2004 saya masuk SMA. Saya tidak masuk SMA Negeri padahal saya sangat menginginkannya. Saya tidak masuk SMA Negeri lagi-lagi karena faktor memperoleh nilai mata pelajaran agama Katolik. Akhirnya saya masuk di sekolah SMA swasta Katolik. Di sekolah itu saya merasa tidak begitu asing dengan lingkungan sekolahnya karena sejak SMP saya sudah berada di Yayasan Pendidikan yang sama. SMA tempat saya belajar sangat dekat dengan SMP saya karena masih dalam satu lingkungan.
Selama saya di kelas X (dahulu kelas 1 SMA) sempat mempelajari bahasa Jepang pada ekstrakurikuler di sekolah. Saya belajar bahasa tersebut langsung dengan guru yang merupakan orang keturunan Jepang. Saya diajarkan bagaimana cara menulis dan membaca tulisan dalam bahasa Jepang. Saya belajar bahasa asing tersebut hanya satu kali dalam satu minggu. Ekstrakulikuler tersebut membuat saya menjdi tahu bahwa terdapat perbedaan dialek dan huruf-huruf pada bahasa Jepang. Ekstrakulikuler bahasa Jepang di SMA saya diadakan karena atas permintaan dari siswa-siswinya.
Akhir tahun 2004 saya menerima Laporan Hasil Belajar (Raport). Pada waktu yang sama saya juga harus memilih program studi yang saya minati dan sesuai dengan kemampuan yang saya miliki. Akhirnya saya memilih program studi Ilmu Alam. Program studi tersebut saya pilih karena saya merasa tidak mampu untuk mengikuti mata pelajaran di program studi Ilmu Sosial. Mata pelajaran untuk program studi Ilmu Sosial saya mencukupi, walaupun menurut wali kelas saya pada waktu kelas X saya masih bisa untuk masuk pada program studi Ilmu Sosial.
Tahun 2005 saya masuk pada kelas baru yaitu pada kelas XI Ilmu Alam. Saya sangat bangga karena saya sudah bisa masuk pada program studi Ilmu Alam. Minggu pertama saya di kelas yang baru saya belum merasakan beratnya mata pelajaran yang ada pada program studi Ilmu Alam. Pada waktu ulangan harian pertama, mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika-IPA. Nilai yang saya peroleh dari ulangan tersebut sangat dibawah dari nilai-nilai yang biasa saya dapatkan pada waktu di kelas X sehingga saya harus mengikuti remedial (ujian perbaikan). Mulai saat itu saya sadar bahwa cara yang digunakan pada waktu di kelas X sudah tidak efektif lagi karena terbukti dengan cara yang seperti biasa nilai saya menurun dengan sangat signifikan.
Setelah remedial untuk ulangan harian Matematika, saya berusaha untuk memperbaiki nilai-nilai yang lain. Hal ini terbukti dengan ulangan harian untuk mata pelajaran lain nilai saya tidak terlalu buruk. Ulangan demi ulangan saya lewati dengan mencapai nilai yang cukup baik. Tetapi pada beberapa nilai ulangan dengan mata pelajaran Matematika saya masih saja mendapatkan nilai yang kurang. Nilai yang saya dapatkan pada beberapa ulangan harian Matematika padahal hanya kurang sedikit saja dari batas minimal nilai yang diberikan oleh guru tersebut.
Suatu saat pada semester genap di kelas XI guru Matematika tersebut memberikan peraturan yaitu bahwa bagi siswa yang nilai mata pelajaran Matematika IPA masih kurang dari nilai 60 maka siswa tersebut dapat dikatakan naik kelas hanya siswa tersebut harus menyatakan pindah program studi ke Ilmu Sosial. Hal ini sangat membuat saya dengan teman-teman satu kelas dan satu program studi menjadi panik. Saya mengaku kalau nilai saya untuk mata pelajaran Matematika IPA saya masih agak kurang. Saya sangat bingung sekali sedangkan Ujian Akhir Semester semakin dekat.
Akhirnya dengan usaha yang saya lakukan yaitu belajar dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Tuhan untuk meminta bantuanNya agar saya dapat mengerjakan soal-soal Ujian Akhir Semester dengan baik. Ternyata usaha yang telah saya lakukan tidak sia-sia. Nilai yang saya dapat pada Ujian Akhir Semester cukup bagus. Memang pada Ujian Akhir Semester tersebut saya masih ada beberapa mata pelajaran yang haris di remedial (ujian perbaikan). Tetapi mata pelajaran yang diremedial tidak pernah lebih dari 3 mata pelajaran.
Akhir tahun ajaran sudah tiba dan saya seperti biasa menerima Laporan Hasil Belajar (Raport). Saya merasa sangat takut sekali karena saya takut kalau termasuk siswa yang tinggal kelas. Karena saya menjadi ingat kembali dengan apa yang telah diberitahukan oleh guru Matematika bahwa bila nilai mata pelajaran Matematika masih di bawah 60 maka siswa tersebut harus merelakan cita-citanya untuk tetap belajar pada program studi Ilmu Alam. Tetapi ternyata saya lolos dari ujian tersebut saya dapat naik kelas dengan program studi yang sama.
Tahun 2006 saya mulai masuk di kelas XII. Di kelas ini saya mendapat banyak teman baru karena pada wakti saya di kelas XI saya hanya bertemu dengan teman-teman lama. Kebanyakan teman-teman saya waktu di kelas XI adalah teman saya pada waktu SMP dan di kelas X. Tetapi di kelas XII saya bertemu dengan teman-teman yang belum saya kenal karena mereka pada wakti di kelas X dan XI berada pada program Seni Tradisional.
Selama di kelas saya merasa ditidak nyaman sekali. Hal ini disebabkan oelh ada teman sekelas saya yang orang hiperaktif sekali. Ia selalu berkomentar yang tidak penting terhadap setiap orang yang ada di kelas termasuk juga kepada guru-guru yang mengajar di kelas. Teman saya itu selalu mencari perhatian dari setiap orang yang ada disekitarnya. Kelas yang seharusnya kondusif tetapi malah menjadi gaduh akibat ilah teman saya itu. Saya memang sudah 2 tahun sekelas dengan dia tetapi pada waktu kelas XI saya tidak merasa terganggu dengan ulahnya itu, tetapi di kelas XII saya sangat merasa terganggu sekali dengan suaranya yang amat keras. Saya menjadi heran padahal dia itu sudah mendapatkan Surat Peringatan tahap III dari Kepala Sekolah yang berarti apabila ia melakukan kesalahan satu kali lagi maka ia akan dikeluarkan dri sekolah (drop out). Kejadian tersebut terus berlangsung hingga Ujian Tengah Semester.
Suatu hari pada pelajaran Olah Raga, saya diminta oleh guru Olah Raga untuk mengawasi para siswi di kelas saya yang berlari mengelilingi Kompleks Sekolah melalui belakang sekolah. Saya diminta untuk menuliskan nama siswi yang tidak terlihat berlari didepan saya. Selama kurang lebih 10 menit saya berjaga ternyata masih ada 5 orang siswi yang tidak berlari melintasi saya. Ketika saya berjalan menuju ke sekolah untuk melaporkan apa yang terjadi saya bertemu dengan 5 orang siswi yang berlari dengan rute yang tidak seharusnya.
Sesampainya saya di sekolah saya langsung melaporkan apa yang terjadi pada guru Olah Raga, mereka malah maki saya dengan kata-kata yang tidak sopan. Saya sebagai orang yang diberikan amanat maka saya harus memberikan laporan yang sebenarnya tanpa ada rekayasa. Saat saya sampai di kelas, saya pun tetap dimusuhi oleh mereka. Saya tahu siapa yang yang memprovokasi mereka (semua orang di kelas) tetapi saya tetap saja diam. Saya hanya berbicara kepada orang yang memprovokasi tersebut kalau Tuhan pasti tunjukan kebenaran dan akan membalas semuanya. Orang yang menjadi provokator tersebut hanya terdiam saja. Selama kurang lebih 3 minggu saya di kucilkan oleh teman-teman di kelas, tetapi saya tidak merasa kesepian karena teman-teman saya hanya menjadi misih di kelas saja, tetapi di luar kelas mereka tetap menjadi teman saya. Suatu hari, saya tidak tahu apakah dia memang secara sadar atau tidak meminta maaf kepada saya. Saya memaafkan dia karena saya pikir buat apa saya dendam terhadap dia karena Tuhan saja mengampuni dosa dari setiap orang.
Mungkin tahun 2006 adalah tahun dimana saya dicobai oleh Tuhan dengan tujuan agar saya dapat menjadi manusia yang pantang menyerah dan dewasa baik secara iman maupun secara perilaku. Lepas dari masalah dengan teman sekelas. Saya mendapat masalah dengan sekolah yaitu mengenai masalah raport. Raport saya dianggap hilang. Saya sudah melaporkan kepada petugas Tata Usaha bahwa raport saya hilang karena saya sudah mencarinya di rumah. Tetapi saya tetap saja diminta untuk mencarinya di rumah. Saya sudah mencoba untuk melaporkan hal ini ke wali kelas saya tetapi lagi-lagi ia hanya berkata mungkin hanya terselip di kelas lain. Saya jadi semakin binggung karena Ujian Nasional tinggal 3 minggu lagi sedangkan raport hasil belajar saya selama 2,5 tahun di SMA tidak ada. Saya sangat binggung sekali ditambah lagi saya juga ingin mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi (Universitas). Saya sudah mencoba untuk meminta surat rekomendasi dan transkrip nilai sementara dari Tata Usaha tetapi hasilnya nihil.
Satu minggu setelah itu saya kembali menanyakan secara baik-baik kepada petugas Tata Usaha sekolah dan Kepala Sekolah tetapi mereka malah memutar balikan fakta yang ada. Mulai dari situ saya merasa sangat kesal sekali seharusnya saya ikut Misa Jum’at Pertama tetapi tidak saya lakukan karena hati saya sedang dalam tidak siap untuk menerima sakramen Ekaristi. Keesokan harinya kedua orang saya datang ke sekolah untuk mengurus masalah yang selalu dipersulit. Setelah kedua orang saya pulang saya dipanggil oleh Kepala Sekolah dan diberitahukan bahwa masalah raport telah selesai. Selang 2 hari setelah masalah tersebut dianggap selesai petugas Tata Usaha sekolah memberitahukan bahwa raport saya telah ditemukan. Bila ditelaah secara logika untuk barang yang hilang bila dianggap sudah selesai maka target yang dicari sudah tidak akan ditelisuri lagi keberadaanya dan bila raport saya benar-benar hilang/terselip maka pasti akan ditemukan dalam kondisi yang tidak rapi lagi tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Hal ini menimbulkan kecurigaan saya terhadap kinerja Tata Usaha dan Kepala Sekolah yang bisa dikatakan ingin melakukan pemerasan materil kepada siswanya.
Tahun 2007 saya mulai masuk di Universitas. Saya masuk di Universitas dengan memilih program studi Teknik Industri. Awal saya masuk di program studi Teknik Industri sangat menyenangkan saya mendapatkan teman-teman yang baik dan saling menolong. Teman-teman sekelas saya sangat menghargai adanya perbedaan ras, suku, dan agama. Pada kelas saya yang beragama Katolik hanyalah saya seorang tetapi saya sangat bangga karena saya dapat mengenalkan agama Katolik kepada mereka. Selama ini mereka hanya tahu bahwa agama Kristen (Protestan) dan Katolik adalah agama yang sama. Tetapi setelah saya beritahukan kepada mereka bahwa apa yang selama ini mereka asumsikan ternyata salah. Setelah saya menjelaskan secara umum mengenai perbedaan dari kedua agama tersebut akhirnya mereka mengerti.
Mulai dari semester 1 sampai dengan semester 2 saya merasa tidak ada masalah apapun baik dengan mata kuliah-mata kuliah, teman-teman, serta dengan kakak kelas saya yang berada di laboratorium (Asisiten Lab). Pada semester 1 kemarin saya mendapatkan kesulitan pada salah satu mata kuliah yang menuntut saya untuk lebih terampil dalam menggambar terutama dalam menggambar mesin-mesin pada industri. Setiap mata kuliah itu saya selalu merasa kesulitan karena pada waktu saya berada ditingkat SMA saya hanya diberikan dasarnya saja menggambar seperti itu. Saya sangat bingung sekali. Akhirnya saya menemukan cara bagaimana mengatasi kesulitan yang saya alami tersebut dengan saling bekerja sama dengan teman-teman saya di kelas serta dengan kakak kelas saya yang mengulang mata kuliah tersebut. Tidak ada perbedaan antara pria dengan wanita, maupun senior dengan junior. Semua menjadi satu kesatuan yaitu dalam kelas yang sama. Tidak hanya dalam mengerjakan tugas tetapi juga dalam belajar saya dengan teman-teman sekelas tidak segan-segan untuk saling berbagi mengenai kemampuan masing-masing dalam setiap mata kuliah. Mereka bukan lagi saya anggap sebagai teman tetapi sudah saya anggap sebagai keluarga saya sendiri. Saya selalu mencoba menempatkan diri sebagai bagian dari mereka bukan sebagai orang lain dari mereka. Pada waktu Ujian Tengah semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), dan Ujian Utama (Ujian Negara) saya dan teman-teman selalu berdiskusi sebelum masuk kedalam ruangan ujian untuk membahas materi mana pada mata kuliah yang diujikan yang sampai saat mau masuk ke ruangan ujian masih tidak dimengerti. Kami berdiskusi satu sama lain dengan untuk memecahkan masalah yang ada tersebut.
Pada semester 2 saya dan teman-teman dikelas masih menjalankan kebiasaan yang sama seperti di semester 1. Pada semester 2 ini ada 3 mata praktikum yang saya dan teman-teman sekelas harus ikuti. Mata praktikum tersebut adalah Fisika Dasar 2, Dasar Komputer dan Pemrograman 2, dan Statistika Industri 1. Semua praktikum tersebut harus saya dan teman-teman saya ikuti sebagai penunjang bagi mata kuliah yang bersangkutan. Pada semester 2 ada mata praktikum yang laporan akhirnya di buat seperti skripsi. Hal ini membuat saya amat sibuk dalam mencari data dan asistensi (bimbingan dalam pembuatan laporan akhir tersebut). Untuk menyelesaikan tugas tersebut dalam satu kelas memang dibagi dalam beberapa kelompok kerja dengan tugas yang berbeda-beda. Tetapi saya dan teman satu kelompok meminta bantuan dari teman-teman sekelas yang berbeda kelompok. Bila kelompok saya sudah dikoreksi saya dan teman satu kelompok akan berdiskusi dengan teman dari kelompok lain guna mengkoreksi hasil pekerjaan satu sama lain. Hal ini saya lakukan selama 5 kali pertemuan dengan asisten pembimbing. Selama itu pula saya dan teman satu kelompok mendapatkan pengalaman bahwa dalam penulisan ilmiah atau penyusunan tugas akhir (skripsi) memang sangat membutuhkan waktu serta referensi untuk penulisan yang cukup banyak. Akhirnya laporan akhir praktikum tersebut dapat terselesaikan tepat waktu dan mendapatkan nilai yang cukup baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar